Tari Lenggasor, Tari Energik Ikon Kesenian
Purbalingga
PURBALINGGA – Kekhasannya nampak jelas.
Energik, lincah juga bernuansa humor. “Geyolannya agak-agak gimana gitu,”
begitu kata Sri Kuncoro, kabid
Kebudayaan Dinbudparpora Purbalingga soal Tari Lenggasor. Dia memang selalu antusias saat diajak berbincang
tentang tari lengger hasil kreasi Susiati tersebut, sebab tari itulah yang kini
tengah moncer mengangkat nama Purbalingga di dunia kesenian nusantara.
Setiap kali pentas,
gerak tangan, kaki dan pinggul penari selalu bisa memukau penonton. Decak kagum
dan tepuk tangan sudah jadi hal lumrah di ujung pementasan. Tari Lenggasor seperti punya daya magis.
“Tari ini efektif untuk
mengenalkan Purbalingga,” kata dia, Minggu (23/12). Permintaan pentas oleh
sejumlah kementerian, bahkan untuk mewakili Jawa Tengah disebutnya sebagai
bukti ketertarikan masyarakat.
Seabrek penghargaan
diboyong ke Kota Perwira. Tahun depan, beberapa agenda pun mengantre. Mulai
dari pentas di Bandara Halim Perdana Kusuma, Parade Tari Nusantara, dan Festival Bambu 2013.
Kini, Dinbudparpora
dan Grup Calung Wisanggeni terus berupaya memoles tari yang
bercerita tentang keharusan manusia menghormati Sang Pencipta dan orang tua
tersebut. Konsepnya, lenggah dan asor.
Seperti memadukannya
dengan musik tek-tek sampai dengan menarikannya secara massal. Termasuk
meregenerasi penari-penarinya. “Perkembangannya cukup bagus dan signifikan,”
tutur Kuncoro kepada Suara Merdeka.
Pemkab Purbalingga memang
menjadikan tarian tersebut sebagai ikon Kota Perwira di bidang kesenian,
khususnya tari. Sekaligus untuk merangsang pelestarian seni tradisi di kalangan
muda.
Hapy Septia Nugraheni, salah satu dara yang menarikan Tari Lenggasor secara
massal Oktober di Alun-alun Purbalingga mengaku agak susah mempelajari gerak
tari tersebut, pada awalnya.
“Gerakan tangannya,
perubahannya sangat cepat tiap detiknya,” tutur siswa SMA 1 Purbalingga
tersebut. Walau begitu, saat sudah terbiasa gerakannya menjadi mudah.
Ruli
Tri Utami juga mengaku senang
turut menarikan tarian yang tengah naik daun tersebut. “Gerakannya itu bagus
dan bervariasi,” kata dara manis yang juga teman sekelas Hapy.
Sumber: http://kotaperwira.com/tari-lenggasor-tari-energik-ikon-kesenian-purbalingga#ixzz2VJaQR61e
http://facebook.com/kotaperwiracom
http://facebook.com/kotaperwiracom
Dirintis Perda
Identitas Budaya Asli Purbalingga
wayang suket
Kisah Mbah Gepuk dan wayang suket asli Purbalingga perlahan-lahan menghilang.
Kecenderungan tersebut berlangsung setelah 12 tahun silam sang pencipta yang
bersahaja itu meninggal dunia, meninggalkan wayang suket-wayang suket
ciptaannya.
Salah
satu Wayang Suket hasil rajutan Ikshanuddin
Namun kini tanpa
sepengetahuan masyarakat luas, ekspresi kegagahan tokoh dunia pewayangan yang
dirajut dari rumput itu muncul kembali. Ya, para tokoh wayang yang dibuat dari
rumput yang dirajut itu hadir kembali lewat tangan dua perajin asal Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga. “Selama ini
wayang suket di Purbalingga seakan-akan sudah musnah. Padahal, saat ini masih
ada yang meneruskan langkah Mbah Gepuk, yakni cucunya, Bodriyanto,
dan saya,” ujar Ikshanuddin (33). Lajang asal Desa
Bantarbarang, Kecamatan Rembang, yang akrab dipanggil Ikshan itu menuturkan tak
pernah belajar secara langsung kepada sang maestro, Mbah Gepuk. Dia hanya
terinspirasi untuk membuat karya unik itu setelah melihat wayang suket dan
brosur bergambar wayang suket yang masih tersimpan di meja kerja.
Moncer
Kala itu, Ikhsan kecil sering melihat
Mbah Gepuk berjualan wayang di tepi jalan raya Desa Bantarbarang. Dia tertarik
memperhatikan wayang-wayang yang dirajut dari rumput jenis kasuran buatan kakek
berusia 92 tahun itu. “Saat itu saya masih duduk di sekolah dasar. Kaki Gepuk
menjual wayang seharga Rp 15.000. Cukup mahal saat itu,” ucap Ikhsan. Dia
menuturkan nama Mbah Gepuk makin moncer ketika berpameran tunggal di Bentara
Budaya Yogyakarta tahun 1995. Wayang suket karya Mbah Gepuk mendapat
sambutan luar biasa dari masyarakat seni Yogyakarta yang telah tumbuh lebih
baik.
Tahun
berikutnya, Bentara Budaya Jakarta mengundang Mbah Gepuk untuk kembali
berpameran. Kali ini bersama Sukasman (alumnus ASRI Yogya,
sekarang ISI Yogya) dan Heridono (alumnus ISI Yogya). Keduanya adalah seniman wayang
alternatif yang telah melanglangbuana ke berbagai negara. Brosur berisi foto
katalog pameran itu sampai ke tangan Iksan yang masih bersekolah di MTs
Rembang. Pemuda yang piawai menggambar itu pun mencoba-coba merajut rumput
untuk membuat wayang. Dia mencontoh gambar-gambar dalam katalog pameran.
“Saya mencoba
berganti media. Jika Mbah Gepuk menggunakan suket (rumput) kasuran, saya
memilih rumput yang tumbuh dipinggir jalan di Desa Bantarbarang,” ujarnya.
Merajut rumput menjadi wayang ternyata tak semudah membalik telapak tangan.
Semula Ikhsan membutuhkan waktu 30 hari untuk menghasilkan tokoh wayang
Wisanggeni. Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya dia berhasil membuat sebuah
wayang dalam waktu antara empat dan sembilan hari. Dan, itu tergantung pada
ukuran, besar atau kecil, wayang.
Dia
merasa yakin karyanya sudah cukup bagus. Lalu, anak pasangan almarhum Yosowiryo
dan Sumini itu pun memublikasikan karya tersebut melalui
jejaring sosial. Di luar dugaan, seniman wayang modern asal California, Amerika
Serikat, Geoffrey Cormier, melirik wayang suket karyanya. Geoffrey meminta
Ikshan mengirimkan contoh wayang buatan tangan tersebut untuk dipresentasikan
di hadapan publik, khususnya para perupa di Negeri Paman Sam.
“Saya membuat
pameran khusus untuk mengapresiasi wayang suket buatan Ikhsanuddin dan
Bodriyanto. Saya menaruh hormat kepada kedua perajin itu,” tulis Geoffrey
melalui jejaring sosial. Ya, dosen mata kuliah desain grafis di South Carolina
University itu sangat terpukau pada kerumitan karya mereka berdua. Bahkan
sebagai penggemar wayang modern, Geoffrey ingin bertandang ke Indonesia untuk
belajar cara pembuatan wayang suket. Wayang suket adalah kerajian asli
Purbalingga yang mulai terangkat kembali tahun 2011. Karya itu telah
didokumentasikan dalam bentuk film dokumenter oleh pelajar SMAN 1 Rembang.
Ya, Astri Rakhma Adisty, sang pelajar
itu, memfilmkan wayang suket lewat film berjudul Gulma yang Bernilai Guna.
Tags: Bentara Budaya Yogyakarta, film
purbalingga, Mbah
Gepuk,
tokoh
wayang,
wayang
suket , contoh RAB
jalan kota, contoh rencana anggaran baiaya halal bi halal, gambar wayang
gung
Source: Suara Merdeka
Source: Suara Merdeka
Sumber:http://kotaperwira.com/wayang-suket-asli-purbalingga-warisan mbah-gepuk#ixzz2VJbEZIN1
http://facebook.com/kotaperwiracom
Budaya Banyumasan juga diperkaya dengan masuknya gaya
budaya Mataram (Yogya-Solo) dan Sunda (Pasundan/Priangan) dan kini mulai disisipi
pernik-pernik kontemporer. Dari budaya Banyumasan ini lahir
bentuk-bentuk kesenian tradisional yang juga berkarakter Banyumasan seperti ebeg, lengger-calung, angguk, wayang kulit gagrak
Banyumasan, gendhing Banyumasan, begalan dan lain-lain. Sedangkan di wilayah yang berbatasan
langsung dengan daerah Jawa Barat lebih memiliki gaya budaya Pasundan seperti kesenian sisingaan, gendang rampak, rengkong, calung dan lain-lain.
Ebeg'
adalah jenis
tarian rakyat yang berkembang di wilayah Banyumasan. Varian lain dari jenis kesenian ini di
daerah lain dikenal dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, ada juga yang
menamakannya jathilan (Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur) namun di wilayah Kecamatan
Tambak (Wilayah Kabupaten Banyumas bagian selatan) lebih dikenal dengan nama
"ebeg". Tarian ini menggunakan “ebeg” yaitu anyaman bambu yang
dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan.
Penarinya mengenakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan berkacamata hitam, mengenakan mahkota
dan sumping ditelinganya. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi
gelang-gelang kerincingan sehingga gerakan tangan dan kaki penari ebeg selalu
dibarengi dengan bunyi kerincingan. Jumlah penari ebeg 8 oarang atau lebih, dua
orang
berperan sebagai penthul-tembem, seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang,
7 orang lagi sebagai penabuh gamelan, jadi satu grup ebeg bisa beranggotakan 16
orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg sedangkan
penthul-tembem memakai topeng. Tarian ebeg termasuk jenis tari massal,
pertunjukannya memerlukan tempat pagelaran yang cukup luas seperti lapangan
atau pelataran/halaman rumah yang cukup luas. Waktu pertunjukan umumnya siang
hari dengan durasi antara 1 – 4 jam. Peralatan untuk Gendhing pengiring yang
dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong dan terompet. Selain
peralatan Gendhing dan tari, ada juga ubarampe (sesaji) yang mesti disediakan
berupa : bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda
(dewegan),jajanan pasar,dll. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan
lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung,eling-eling,( crebonan), dan lain-lain. Yang unik, disaat pagelaran,
saat trans (kerasukan/mendem) para pemainnya biasa memakan pecahan kaca
(beling) atau barang tajam lainnya, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi
dari tangkainya, dhedek (katul), bara api, dll. sehingga menunjukkan
kekuatannya Satria, demikian pula pemain yang manaiki kuda kepang
menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya
dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet.
Dalam pertunjukannya, ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe.
Laisan
Laisan adalah
jenis kesenian yang melekat pada kesenian ebeg. Laisan dilakukan oleh seorang
pemain pria yang sedang mendem, badannya ditindih dengan lesung terus
dimasukkan ke dalam kurungan, biasanya kurungan ayam, di dalam kurungan itulah
Laisan berdandan seperti wanita. Setelah terlebih dulu dimantra-mantara,
kurunganpun dibuka, dan munculah pria tersebut dengan mengenakan pakaian wanita
lengkap. Laisan muncul di tengah pertunjukan ebeg. Pada pertunjukan ebeg
komersial, salah seorang pemain biasanya melakukan thole-thole yaitu menari
berkeliling arena sambil membawa tampah untuk mendapatkan sumbangan. Laisan
juga dikenal di wilayah lain (wetan) dan mereka biasa menyebutnya Sintren.
Lengger-Calung
Kesenian
tradisional lengger-calung tumbuh dan berkembang di wilayah ini. Sesuai
namanya, tarian lengger-calung terdiri dari lengger (penari) dan calung
(gamelan bambu), gerakan tariannya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama
calung. Di antara gerakan khas tarian lengger antara lain gerakan geyol, gedheg
dan lempar sampur.
Dulu penari lengger adalah pria yang berdandan seperti wanita, kini penarinya umumnya wanita cantik sedangkan penari prianya hanyalah sebagai badut pelengkap yang berfungsi untuk memeriahkan suasana, badut biasanya hadir pada pertengahan pertunjukan. Jumlah penari lengger antara 2 sampai 4 orang, mereka harus berdandan sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat menarik, rambut kepala disanggul, leher sampai dada bagian atas biasanya terbuka, sampur atau selendang biasanya dikalungkan dibahu, mengenakan kain/jarit dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas Banyumasan yang lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul sehingga terlihat sangat menggemaskan. Peralatan gamelan calung terdiri dari gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang semuanya terbuat dari bambu wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama seperti gendang biasa. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal sebagai sinden. Satu grup calung minimal memerlukan 7 orang anggota terdiri dari penabuh gamelan dan penari/lengger.
Dulu penari lengger adalah pria yang berdandan seperti wanita, kini penarinya umumnya wanita cantik sedangkan penari prianya hanyalah sebagai badut pelengkap yang berfungsi untuk memeriahkan suasana, badut biasanya hadir pada pertengahan pertunjukan. Jumlah penari lengger antara 2 sampai 4 orang, mereka harus berdandan sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat menarik, rambut kepala disanggul, leher sampai dada bagian atas biasanya terbuka, sampur atau selendang biasanya dikalungkan dibahu, mengenakan kain/jarit dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas Banyumasan yang lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul sehingga terlihat sangat menggemaskan. Peralatan gamelan calung terdiri dari gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang semuanya terbuat dari bambu wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama seperti gendang biasa. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal sebagai sinden. Satu grup calung minimal memerlukan 7 orang anggota terdiri dari penabuh gamelan dan penari/lengger.
Angguk
Tarian jenis ini
sudah ada sejak abad ke 17 dibawa para mubalig penyebar agama Islam yang datang
dari wilayah Mataram-Bagelen. Tarian ini disebut angguk karena penarinya sering
memainkan gerakan mengangguk-anggukan kepala. Kesenian angguk yang bercorak
Islam ini mulanya berfungsi sebagai salah satu alat untuk menyiarkan agama
Islam. Sayangnya jenis kesenian ini sekarang semakin jarang dipentaskan. Angguk
dimainkan sedikitnya oleh 10 orang penari anak laki-laki berusia sekitar 12
tahun. Pakaian para penari umumnya berwarna hitam lengan panjang dengan
garis-garis merah dan kuning di bagian dada/punggung sebagai hiasan. Celana
panjang sampai lutut dengan hiasan garis merah pula, mengenakan kaos kaki
panjang sebatas lutut tanpa sepatu, serta memakai topi pet berwarna hitam.
Perangkat musiknya terdiri dari kendang, bedug, tambur, kencreng, 2 rebana,
terbang (rebana besar) dan angklung. Syair lagu-lagu Tari Angguk diambil dari
kitab Barzanji sehingga syair-syair angguk pada awalnya memang menggunakan
bahasa Arab tetapi akhir-akhir ini gerak tari dan syairnya mulai dimodifikasi
dengan menyisipkan gerak tari serta bahasa khas Banyumasan tanpa merobah corak
aslinya. Bentuk lain dari kesenian angguk adalah “aplang”, bedanya bila angguk
dimainkan oleh remaja pria maka “aplang” atau “daeng” dimainkan oleh remaja
putri.
Wayang Kulit
Gagrag Banyumasan
Sebagaimana
masyarakat Jawa pada umumnya, masyarakat Banyumasan juga gemar menonton
pertunjukan wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit di wilayah Banyumas lebih cenderung
mengikuti pedalangan “gagrag” atau gaya pedalangan khas Banyumasan. Seni
pedalangan gagrag Banyumasan sebenarnya mirip gaya Yogya-Solo bercampur Kedu
baik dalam hal cerita, suluk maupun sabetannya, bahasa yang dipergunakanpun
tetap mengikuti bahasa pedalangan layaknya, hanya bahasa para punakawan
diucapkan dengan bahasa Banyumasan. Nama-nama tokoh wayang umumnya sama, hanya
beberapa nama tokoh yang berbeda seperti Bagong (Solo) menjadi Bawor atau
Carub. Menurut model Yogya-Solo, Bagong merupakan putra bungsu Ki Semar, dalam
versi Banyumas menjadi anak tertua. Tokoh Bawor adalah maskotnya masyarakat
Banyumas.
Ciri utama dari
wayang kulit gagrag Banyumasan adalah napas kerakyatannya yang begitu kental
dan Ki Dalang memang berupaya menampilkan realitas dinamika kehidupan yang ada
di masyarakat. Tokoh pedalangan untuk Wayang Kulit Gagrag Banyumasan yang terkenal saat ini antara
lain Ki Sugito Purbacarito, Ki Sugino Siswacarito, Ki Suwarjono dan lain-lain.
Gending
Banyumasan
Gending khas
lagu-lagu Banyumasan sangat mewarnai berbagai kesenian tradisional Banyumasan,
bahkan dapat dikatakan menjadi ciri khasnya, apalagi dengan berbagai hasil
kreasi barunya yang mampu menampilkan irama Banyumasan serta dialek Banyumasan.
Ciri-ciri khas lainnya antara lain mengandung parikan yaitu semacam pantun
berisi sindiran jenaka, iramanya yang lebih dinamis dibanding irama Yogya-Solo
bahkan lebih mendekati irama Sunda. Isi-isi syairnya umumnya mengandung
nasihat, humor, menggambarkan keadaan daerah Banyumas serta berisi
kritik-kritik sosial kemasyarakatan. Lagu-lagu gending Banyumasan dapat
dimainkan dengan gamelan biasa maupun gamelan calung bambu. Seperti irama gending
Jawa pada umumnya, irama gending Banyumasan mengenal juga laras slendro dan
pelog.
Begalan
Begalan adalah
jenis kesenian yang biasanya dipentaskan dalam rangkaian upacara perkawinan
yaitu saat calon pengantin pria beserta rombongannya memasuki pelataran rumah
pengantin wanita. Disebut begalan karena atraksi ini mirip perampokan yang
dalam bahasa Jawa disebut begal. Yang menarik adalah dialog-dialog antara yang
dibegal dengan sipembegal biasanya berisi kritikan dan petuah bagi calon
pengantin dan disampaikan dengan gaya yang jenaka penuh humor. Upacara ini
diadakan apabila mempelai laki-laki merupakan putra sulung. Begalan merupakan
kombinasi antara seni tari dan seni tutur atau seni lawak dengan iringan
gending. Sebagai layaknya tari klasik, gerak tarinya tak begitu terikat pada
patokan tertentu yang penting gerak tarinya selaras dengan irama gending.
Jumlah penari 2 orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-barang
(peralatan dapur), seorang lagi bertindak sebagai pembegal/perampok. Barang-barang
yang dibawa antara lain ilir, ian, cething, kukusan, saringan ampas, tampah,
sorokan, centhong, siwur, irus, kendhil dan wangkring. Barang bawaan ini biasa
disebut brenong kepang. Pembegal biasanya membawa pedang kayu. Kostum pemain
cukup sederhana, umumnya mereka mengenakan busana Jawa. Dialog yang disampaikan
kedua pemain berupa bahasa lambang yang diterjemahkan dari nama-nama jenis
barang yang dibawa, contohnya ilir yaitu kipas anyaman bambu diartikan sebagai
peringatan bagi suami-isteri untuk membedakan baik buruk. Centhing, tempat nasi
artinya bahwa hidup itu memerlukan wadah yang memiliki tatanan tertentu jadi
tidak boleh berbuat semau-maunya sendiri. Kukusan adalah alat memasak atau
menanak nasi, ini melambangkan bahwa setelah berumah tangga cara berpikirnya
harus masak/matang. Selain menikmati kebolehan atraksi tari begalan dan irama
gending, penonton juga disuguhi dialog-dialog menarik yang penuh humor.
Biasanya usai pertunjukan, barang-barang yang dipikul diperebutkan para
penonton. Sayangnya pertunjukan begalan ini tidak boleh dipentaskan terlalu
lama karena masih termasuk dalam rangkaian panjang upacara pengantin.
Rengkong
Rengkong adalah
kesenian yang menyajikan bunyi-bunyian khas bagai suara kodok mengorek secara
serempak yang dihasilkan dari permainan pikulan bambu. Pikulan bambu tersebut
berukuran besar dan kuat tetapi ringan karena dibuat dari bambu yang sudah
cukup tua, biasanya menggunakan bambu tali dengan panjang sekitar 2,6 meter.
Pada kedua ujung bambu dibuat lobang persegi panjang selebar 1 cm, sekeliling
bambu melintasi lobang tersebut diraut sekedar tempat bertengger tali
penggantung ikatan padi. Dua ikat padi seberat ± 15 kg digayutkan dengan tali
ijuk mengalungi sonari (badan rengkong bambu di tempat yang diraut). Di tengah masing-masing
ikatan padi ada sunduk (tusuk) bambu sepanjang hampir 2 meter. Ujung atas
sunduk bambu dimasukkan ke badan bambu rengkong dekat gantungan tali ijuk. Cara
memainkannya, pikulan bambu rengkong yang berisi muatan padi diletakkan pada
bahu kanan (dipikul). Pemikul mengayun-ayunkan ke kiri dan ke kanan dengan
mantap dan teratur. Tali ijuk dengan beban padi yang menggantung pada badan
bambu rengkong pun bergerak-gerak, gesekan tali ijuk yang keras inilah yang
menimbulkan suara berderit-derit nyaring. Kalau ada beberapa rengkong yang
dimainkan serempak maka akan timbul suara yang mengasyikan, khas alam petani,
terlebih bila dimainkan dengan berbaris berarak-arakan maka suasananya akan
lebih semarak. Kesenian tradisional para petani ini biasanya diadakan pada
pesta perayaan panen atau pada hari-hari besar nasional.
Kesenian
lainnya di Wilayah Banyumasan
Kesenian -
kesenian lainnya (termasuk kesenian serapan) yang tumbuh berkembang di wilayah
Banyumasan antara lain adalah: