HISTORY




<blink>SEJARAH KOTA PURBALINGGA</blink>

SEJARAH PURBALINGGA
Sejarah Purbalingga berawal dari seorang tokoh yang menurut sejarah menurunkan tokoh-tokoh Bupati Purbalingga yaitu Kyai Arsantaka.
Kyai Arsantaka yang pada masa mudanya bernama Kyai Arsakusuma adalah putra dari Bupati Onje II. Sesudah dewasa diceritakan bahwa kyai Arsakusuma meninggalkan Kadipaten Onje untuk berkelana ke arah timur dan sesampainya di desa Masaran (Sekarang di Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara) diambil anak angkat oleh Kyai Wanakusuma yang masih anak keturunan Kyai Ageng Giring dari Mataram.
          Pada tahun 1740 – 1760, Kyai Arsantaka menjadi demang di Kademangan Pagendolan (sekarang termasuk wilayah desa Masaran), suatu wilayah yang masih berada dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk kecamatan Kutasari, Purbalingga) yang dipimpin oleh Tumenggung Dipayuda I.
Banyak riwayat yang menceritakan tenang heroisme dari Kyai Arsantaka antara lain ketika terjadi perang Jenar, yang merupakan bagian dari perang Mangkubumen, yakni sebuah peperangan antara Pangeran Mangkubumi dengan kakaknya Paku Buwono II dikarenakan Pangeran mangkubumi tidak puas terhadap sikap kakanya yang lemah terhadap kompeni Belanda. Dalam perang jenar ini, Kyai Arsantaka berada didalam pasukan kadipaten Banyumas yang membela Paku Buwono.
Dikarenakan jasa dari Kyai Arsantaka kepada Kadipaten Banyumas pada perang Jenar, maka Adipati banyumas R. Tumenggung Yudanegara mengangkat putra Kyai Arsantaka yang bernama Kyai Arsayuda menjadi menantu. Seiring dengan berjalannya waktu, maka putra Kyai Arsantaka yakni Kyai Arsayuda menjadi Tumenggung Karangwelas dan bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Masa masa pemerintahan Kyai Arsayuda dan atas saran dari ayahnya yakni Kyai Arsantaka yang bertindak sebagai penasihat, maka pusat pemerintahan dipindah dari Karanglewas ke desa Purbalingga yang diikuti dengan pembangunan pendapa Kabupaten dan alun-alun.
          Nama Purbalingga ini bisa kita dapati didalam kisah-kisah babad. Adapun Kitab babad yang berkaitan dan menyebut Purbalingga diantaranya adalah Babad Onje, Babad Purbalingga, Babad Banyumas dan Babad Jambukarang. Selain dengan empat buah kitab babat tersebut, rekonstruksi sejarah Purbalingga, juga dilakukan dengan melihat arsip-arsip peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang tersimpan dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
Menurut sejarahnya, Purbalingga ternyata pernah menduduki peranan penting pada masa kejayaan kerajaan tempo dulu. Nama Purbalingga erat dengan kisah kejayaan Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Kelima kerajaan itu secara bergantian pernah menguasai Purbalingga sebagai wilayah dudukan.
Hal ini dibuktikan dengan kentalnya pengaruh kebudayaan pada masa itu terhadap sistem kebudayaan masyarakat Purbalingga. Pengaruh tersebut masih dapat dijumpai hingga sekarang.
Ada yang berwujud peninggalan benda purbakala (artefak), berupa seni tradisi, sistem religi (upacara adat), dan sebagainya.
Bukti-bukti lain yang berwujud dokumen literer, diantaranya berupa serat atau sastra babad. Sastra Babad masuk dalam genre sastra sejarah yang berkembang di Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Di Sumatera, Kalimantan dan Malaysia disebut dengan istilah hikayat, dan silsilah. Atau Tambo di Padang dan Lontara di Sulawesi
Selatan.
Sejarah Purbalingga terdokumentasi dalam 4 (empat) babad berbeda.
Pertama,
Babad Onje milik S Warnoto – dulu menjabat Carik atau Sekdes Onje, Kecamatan Mrebet- Purbalingga.
Kedua,
Babad Purbalingga, koleksi perpustakaan Museum Sonobudaya Yogyakarta.
Ketiga,
Babad Jambukarang yang diterbitkan Soemodidjojo Mahadewa Yogyakarta tahun 1953.
Keempat,
adalah Babad Banyumas yang tersimpan di Museum Sonobudaya Yogyakarta.
Berdasarkan bukti literer itulah kemudian sejarah Kabupaten Purbalingga direkontruksi. Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Gajah Mada (UGM) yang ditunjuk pemkab Purbalingga untuk melakukan penelitia, membandingkan kata ke-empat babad itu dengan arsip peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang disimpan dalam koleksi Arsip Nasional RI.
Hasilnya disimpulkan (disepakati) bahwa hari jadi Purbalingga jatuh pada tanggal 18 Desember 1830.
Hari jadi Kabupaten Purbalingga telah ditetapkan melalui Peraturan daerah (Perda) No. 15 tahun 1996, tanggal 19 November 1996 yang jatuh pada tanggal 18 Desember 1830 atau 3 Rajab 1246 Hijriah atau 3 Rajab 1758 Je.
Selanjutnya hari jadi itu diberi candrasengkala “Anggelar Pakarti Sumujuding Hyang Wisesa (1758) dan suryasengkala “Sireping Rananggana Hangesti Praja (1830). / (Hr/RSP)
*Dirangkum dari Buku Sejarah lahirnya Kabupaten Purbalingga (Kerjasama Pemda Kab Dati II
Purbalingga dengan LPM UGM / 1997) dan Buku Kilas Sejarah Purbalingga (Tri Atmo / 2008)


URUTAN BUPATI DI KABUPATEN PURBALINGGA BUPATI PERTAMA : RADEN TUMENGGUNG DIPOYUDO III

Anak Ki Arsantaka yaitu Ki Arsayuda diangkat menjadi patih Karanglewas mendampingi Raden Ngabehi Dipoyudo II. Tetapi Raden Tumenggung Dipoyudo II tidak lama memimpin Karanglewas karena sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Sebagai gantinya, diangkatlah Ki Arsayuda dengan gelar Raden Tumenggung Dipoyudo III.
          Atas petunjuk Ki Arsantaka, pusat pemerintahan yang semula di Karanglewas di pindah ke desa Purbalingga yang dianggap lebih strategis dan subur. Sejak saat itu, Purbalingga sudah lepas dari Banyumas dan berdiri sederajat langsung di bawah pemerintahan pusat di Surakarta.
Tanggal 23 Juli 1759 dibangunlah alun-alun, kantor kabupaten dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan pusat pemerintahan di Purbalingga.
Raden Tumenggung Dipoyudo III memerintah tahun 1759 – 1787. Ia mempunyai tiga istri terdiri satu istri Padmi dan dua Istri Selir. Karena dari istri Padmi maupun selir pertama tidak menurunkan putra, sebagai gantinya diangkat putra Nyai Tegalpingen (selir kedua) yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipokusumo I. Setelah wafat, Raden Tumenggung Dipoyudo III dimakamkan di Makam Arsantaka dukuh Pekuncen Purbalingga Lor.

BUPATI KEDUA : RADEN TUMENGGUNG DIPOKUSUMO I ( 1792 – 1811 )

Sebelum Raden Tumenggung Dipoyudo III menyerahkan jabatan kepada Raden Tumenggung Dipokusumo I, untuk sementara pemerintah sehari-hari diserahkan kepada Raden Yudokusumo dengan pangkat Ngabehi (Bupati Anom). Ia memerintah selama empat tahun yaitu 1778-1782 karena pada saat itu Raden Tumenggung Dipokusumo I belum cukup umur.
Pada tahun 1792 Raden Tumenggung Dipokusumo I resmi menggantikan Raden Yudokusumo. Ia memerintah tahun 1792 – 1811.

BUPATI KETIGA : RADEN MAS TUMENGGUNG BROTOSUDIRO ( 1811 – 1831 )

Sebagai pengganti Raden Tumenggung Dipokusumo I, diangkatlah Raden Mas Danukusumo dengan gelar Raden Mas Tumenggung Brotosudiro. Ia adalah putra pertama dari istri Padmi Raden Ayu Angger, putri Kanjeng Pangeran Haryo Prabuwijoyo I, cucu KGPAA Mengkunegoro I.
Ia memerintah tahun 1811 – 1831. Selama berkuasa, pemerintahannya masih dibawah Pemerintahan Kesunanan Surakarta.
Pada saat Raden Mas Tumenggung Brotosudiro memerintah, terjadi perang Diponegoro dimulai 20 Juli 1825. Perang itu di Purbalingga dikenal dengan sebutan Perang Biting. Perang Biting berakhir tahun 1830 setelah ada kabar bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda.
Setelah perang Diponegoro berakhir, daerah Banyumas termasuk Purbalingga, dinyatakan lepas dari pemerintahan Kasunanan Surakarta termasuk Yogyakarta dan berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.Banyumas dinyatakan sebagai daerah Karesidenan.
Penataan wilayah Banyumas disebutkan dalam Besluit Gouverneur Generaal yang diterbitkan di Bogor tanggal 18 Desember 1830 Nomor 1. Isinya pembagian wilayah Banyumas, Bagelen dan Ledhok, hendaknya berdasarkan pada rencana yang telah disiapkan oleh Markus dari hasil perundingan dan pemikiran dengan Van Den Haer, Van Lewick, Van Pabst yang kemudian ditegaskan lewat Beluit tanggal 21 Agustus 1830.
Selanjutnya pada bulan November 1841 atau bulan Syuro 1760, Jendral De Kock mengunjungi Banyumas dan mengadakan konferensi di Sokaraja dengan para Adipati, Ngabehi dan Punggawa yang berjasa dalam perang Diponegoro. De Kock mengumumkan dan menetapkan pemerintahan Karesidenan Banyumas dengan Residen pertama Tuan Stuurler. Wilayah Banyumas dibagi menjadi lima daerah Kabupaten.
1. Kabupaten Banyumas dengan bupati Raden Tumenggung Cokrowedono I, mendapat gelar Adipati dan tetap menjadi Wedono Bupati.
2. Kabupaten Purwokerto dengan bupatinya Raden Ngabehi Brotodimejo yang semula bupati Sokaraja dnegan gelar Raden Tumenggung Brotodimejo.
3. Kabupaten Purbalingga dengan bupati Raden Mas Brotosudiro, Setelah pensiun, digantikan oleh adik kandungnya yaitu Raden Mas Tumenggung Dipokusumo II yang diangkat tanggal 22 Agustus 1830.
4. Kabupaten Banjarnegara dengan bupati Raden Tumenggung Dipayuda IV dari Adireja dan diangkat 22 Agustus 1830.
5. Kabupaten Majenang dengan bupati Raden Tumenggung Prawironegoro berkedudukan di Dayeuhluhur yang kemudian menjadi kabupaten Majenang.
Dari catatan sejarah, Raden Mas Tumenggung Brotosudiro (Bupati Purbalingga ketiga) mengalami dua zaman pemerintahan yakni pemerintahan Kesunanan Surakarta dan pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah wafat, Raden Mas Tumengguang Brotosudiro dimakamkan di pesarean Arsantaka Purbalingga Lor.

BUPATI KEEMPAT : RADEN MAS TUMENGGUNG ADIPATI DIPOKUSUMO

II (1831 – 1855 ) Setelah Raden Mas Tumenggung Brotosudiro berhenti karena pensiun, sebagai pengganti diangkatlah adik kandungnya yaitu Raden mas tarunokusumo sebagai bupati keempat dengan gelar Raden mas Tumenggung Dipokusumo II pada tanggal 22 Agustus 1831. Setelah Susuhunan Pakubuwono V mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 23 Pebruari 1835, ia kembali mendapat gelar Adipati sehingga memiliki gelar lengkap Raden Mas Tumenggung Adipati Dipokusumo II. Ia merupakan bupati Purbalingga pertama yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda. (Bupati sebelumnya diangkat oleh susuhunan Surakarta).
RMTA Dipokusumo II berhenti karena pension tahun 1855, dan digantikan oleh putranya yaitu Raden Adipati Dipokusumo III (anak dari istri ketiga yaitu Raden Ayu Karangsari).
Setelah RMTA Dipokusumo II wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana desa Kajongan, Bojongsari.

BUPATI KELIMA : RADEN ADIPATI DIPOKUSUMO III ( 1855  – 1868 )

Raden Adipati Dipokusumo III sebelumnya bernama Ngabehi tarunokusumo. Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana Kajongan, Bojongsari.

BUPATI KEENAM : RADEN ADIPATI DIPOKUSUMO IV ( 1868 – 1883 )

Ia diangkat menjadi bupati keenam dengan besluit tanggal 4 September 1868. Sebelum diangkat menjadi bupati ia menjadi mantra polisi di Purareja (Klampok). Selanjutnya tanggal 1 Mei 1849 menjadi asisten wedono (camat) Sokaraja. Dan tanggal 5 Oktober 1866 menerima besluit sebagai Patih Banyumas.
Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana Kajongan.

BUPATI KETUJUH : RADEN ADIPATI TUMENGGUNG DIPOKUSUMO V ( 1883 – 1899 )

Pengganti Raden Adipati Dipokusumo IV adalah putra kandungnya sendiri dari istri kedua (putri Embah Haji Mohammad, cucu Tumengguang Selomanik, cicit Pangeran Bayat) yaitu Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V. Ia juga dikenal sebagai Kanjeng Candiwulan.
Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V juga dimakamkan di pemakaman Giri Cendana.

BUPATI KEDELAPAN : KANJENG RADEN ADIPATI ARYO DIPOKUSUMO VI  ( 1899 – 1925 )

Setelah Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V berhenti karena pension, digantikan oleh adiknya Raden Darmokusumo. Ia diangkat berdasarkan besluit tanggal 13 September 1899.
Raden Darmokusumo (Dipkusumo VI) dilahirkan di Sokaraja tahun 1852, putra Raden Adipati Dipokusumo IV.
KRA Dipokusumo VI adalah seorang amtenaar (pegawai negeri0 yang sangat disiplin dan jasanya sanat besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Sehingga tanggal 26 Agustus 1919 ia mendapat gelar Aryo sehingga nama dan gelarnya menjadi Kanjeng Raden Adipati Aryo (KGPAA) Dipokusumo VI GSOON. (GSOON adalah penghargaan bintang jasa dari pemerintah Hindia Belanda).  Ia juga satu satunya bupati Purbalingga yang memperoleh hak menggunakan “song-song jene” (paying mas) sebagai lambing kebesaran.
Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana.

BUPATI KESEMBILAN : RADEN MAS ADIPATI ARYO SUGONDO ( 1925 – 1949 )

KGPAA Dipokusumo VI GSOON memerintah Purbalingga selama 25 tahun dan berhenti karena pension. Sebagai pengganti diangkat putra sulungnya dari istri padmi (Raden Ayu Sriyati, putrid BRMA Suryoputro, cucu KGPAAMangkunegoro II) yakni Raden Mas Sugondo. Ia diangkat sebagai bupati tanggal 29 Oktober 1925 dengan gelar Raden Mas Tumenggung Aryo Sugondo.
Pada masa pemerintahannya, wilayah Purbalingga dibagi menjadi Tiga kawedanan yakni :
1.    Kawedanan Purbalingga (Kec Purbalingga, Kutasari, Kalimanah, Kaligondang dan Kemangkon ).
2.    Kawedanan Bobotsari ( Kec Bobotsari, Mrebet, Karanganyar dan Karangreja)
3.    Kawedanan Bukateja (Kec Bukateja, Kejobong, Karangmoncol dan Rembang)
Pada masa pemerintahannya juga dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat yang diketuai Bupati. Anggotanya 19 orang (2 orang Belanda, 2 orang bukan Belanda dan bukan pribumi dan 15 orang pribumi).

BUPATI KESEBELAS : MAS SUYOTO

Setelah kemedekaan RI, kedudukan Raden Mas Tumenggung Aryo Sugondo tetap sebagai bupati Purbalingga (ke-sepuluh). Namun beberapa waktu kemudian seorang pejabat karesidenan Banyumas yakni Mas Suyoto ditunjuk sebagai bupati Purbalingga kesebelas. Mas Suyoto menjabat sebsagai bupati hanya sampai pertengahan tahun 1947.

BUPATI KEDUA BELAS : RADEN MAS KARTONO

Dalam situasi dan kondisi yang sangat gawat, pemerintah RI mengangkat Patih Raden Mas Kartono yang sedang bergerilya berjuang bersama TNI sebagai bupati ke dua belas. Ia bermukim di luar kota. Dengan demikian terdapat dua versi bupati yang memerintah Purbalingga yakni Raden Mas Tumengguang Aryo Sugondo versi recomba Belanda dan Raden Mas kartono versi pemerintah RI.
Ini adalah masa berakhirnya bupati keturunan Ki Arsantaka. Selama agresi militer I dan II, RMTA Sugondo dalam melaksanakan pemerintahan merasa tertekan karena tidak diberi kekuasaan sebagaimana mestinya seorang bupati. Sehingga sebelum saatnya pensiun ia mengajukan permohonan berhenti karena kesehatannya tidak mengijinkan. Tanggal 31 Desember 1949, RMTA Sugondo meninggal dan jenasahnya dimakamkan di Giri Cendana.
RMTA Sugondo adalah bupati terakhir dari kleturunan Ki Arsantaka, cikal bakal pendiri kota Purbalingga.
Setelah itu pengangkatan bupati berdasarkan keturunan tidak berlaku lagi  tetapi berdasarkan pemilihan oleh DPRD.



membujang, Adipati Onje Raden Hanyakrakusuma kemudian kawin lagi dengan seorang puteri dari Arenan. Bila dilihat dari segi usia, perkawinan antara Adipati Onje dengan puteri Arenan ini sebenarnya tidak seimbang.

Dari perkawinan ini ia menurunkan Kiai Yudantaka, dan Kiai Arsantaka. Kiai Yudantaka empunyai kegemaran bertani, ketika wafat jenazahnya dimakamkan di desa Kedungwringin termasuk Kecamatan Kalimanah, Purbalingga.

Sebaliknya Kiai Arsantaka, karena tidak cocok dengan saudara-saudaranya (Putera-puteri Adipati Onje dari isteri terdahulu) terpaksa meninggalkan Onje dan berkelana ke timur. Di desa Masaran (Kecamatan Bawang, Banjarnegara) lalu diambil anak angkat oleh Kiai Rindik yang semula bernama Kiai Wanakusuma.

Tahun 1740-1760 Kiai Asantaka mejabat demang Pagendolan yang sekarang termasuk desa Masaran. Ia mempunyai dua isteri. Masing-masing Nyai Merden (keturunan Raden Wargautama II), Bupati Banyumas) dan Nyai Kedunglumbu.

Dalam perkawinannya dengan Nyai Merden, ia menurunkan:
1.      Kiai Arsamenggala,
2.      Kiai Dipayuda Gabug,
3.      Kiai Arsayuda yag kemudian bergelar Tumenggung Dipayuda III, Bupati pertama Purbalingga,
4.      Kiai Ranumenggala, Demang Pasiraman,
5.      Nyai Pancaprana

Sedang dengan Nyai Kedunglumbu hanya menurunkan seorang putera yaitu, Mas Candiwijaya Patih Purbalingga.

Pada akhir hayatnya Kiai Arsantaka dan Nyai Merden dimakamkan di desa Masaran tersebut diatas. Tetapi atas pertimbangan ahli warisnya batu nisan kedua makam itu dipindah ke makam Pakuncen Purbalingga Lor yang sampai sekarang dikenal dengan nama Makam Arsantaka.

Waktu itu desa-desa Purbalingga dan Banjarnegara belum mempunyai Adipati. Kademangan Pagendolan masih dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk Kecamatan Kutasari, Purbalingga). Ngabehi Karanglewas adalah Tumenggung Dipayuda I yang mempunyai atasan lagi yaitu Adipati Banyumas Yudanegara III, tahun 1730-1749. Tumenggung Yudanegara III adalah kakak dari Ngabehi Karanglewas, sama-sama putera Yudanegara II yang menjadi Adipati Banyumas tahun 1710-1728.

Tahun 1749 pecah perang Mnagkubumen. Pasukan Banyumas dipimpin Raden Tumenggung Yudanegara III sebagai panglima perang. Sedangkan Tumenggung Dipayuda I dan Kiai Arsantaka merupakan komandan-komandan kesatuan bawahnya.

Dalam pertempuran yang terjasi disebelahbarat sungai Bogowonto, Raden Tumenggung Dipoyudo I gugur, jenazahnya hilang. Berkat ketekunan dan keberanian Kiai Arsantaka jenazah tersebut berhasil ditemukan kembali di desa Jenar, kemudian dimakamkan di “Astana Redi Bendungan” desa Dawuhan, Banyumas. Selanjutnya dikenal degan sebutan Ngabehi Seda Jenar.

Kedudukan Raden Tumenggung Dipayuda I digantikan putera dari Tumenggung Yudanegara III dengan gelar Tumenggung Dipayuda II sebagai rasa terima kasih, Raden Tumenggung Yudanegara III mengambil menantu putera Kiai Arsantaka yaitu Kiai Arsayuda. Bahkan Kiai Arsyuda diangkat menjadi Patih Karanglewas mendampingi Raden Dipayuda II.

Karena sakit-sakitan, Raden Tumenggung Dipayuda II, tidak lama menjabat Ngabehi Karanglewas (tahun 1755-1758). Ia disebut pula Nagabehi Seda Benda. Jabatannya dilimpahkan kepada Kiai Arsayuda yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.

Maka sampai disinilah keturunan Banyumas dan dimulainya keturunan Kiai Arsantaka yang menjadi cikal bakal berdirinya Kabupaten Purbalingga.

Sumber : Babad dan Sejarah Purbalingga, Tri Atmo; Pemerintah DATI II Purbalingga; 1984.




KILAS BALIK SEJARAH PENGUASA PURBALINGGA

Satu pepatah yang sangat menarik dikemukakan oleh Ahmad Tohari, Budayawan Banyumas bahwa “mewarisi buku lebih bermakna dari sekedar prasasti yang ditorehkan diatas batu,” tentu sangat penting untuk dicermati dan di kaji. Pesan tersebut mendorong orang untuk memiliki kecerdasan motivasi untuk berkarya, apapun bentuknya, seberapapun nilai kontribusi kemanfaatan hasil karya tersebut bagi dirinya dan orang lain yang menyimaknya. 
 Sebuah buku, yang ditulis oleh siapapun,  bukan hanya lebih lengkap pesan informasinya, akan tetapi memaksa orang untuk terus membaca, berpikir, menganalisa, menyimpulkan dan menuangkannya dalam bentuk gagasan atau ide, yang memungkinkan orang lain terinspirasi untuk mewujudkan gagasan tersebut. Bukankah tekhologi apapun yang ada saat ini, yang kita lihat dan yang kita rasakan adalah merupakan bentuk pengembangan dari ide atau gagasan masa lalu?. Sebagai seorang penulis, tak perlu mati ide ketika tak mendapatkan imbal materi dalam bentuk royalty atau apapun, sebab royalty dari seorang penulis adalah pahala yang akan terus mengalir, yang dapat kita nikmati di alam lain. 

 Sebuah ide atau gagasan yang di tuangkan dalam bentuk buku, merupakan karya yang bermanfaat karena dapat menampilkan setiap sudut hasil karya pembangunan, atau keilmuan yang akan  selalu dikenang, betapapun eranya telah beralih dari generasi ke generasi. Untuk itulah maka  saya selalu berusaha agar tidak pernah merasa lelah untuk berkarya, karena saya meyakini bahwa membaca dan menulis adalah satu paket ladang kita untuk beramal. Tentang kilas balik sejarah penguasa Purbalingga, sengaja saya cuplik dari buku karangan saya yang berjudul “JEJAK-JEJAK PEMBANGUNAN PURBALINGGA, dimaksudkan sebagai upaya mengingatkan para generasi mendatang bahwa kehidupan yang ada saat ini adalah proses dari interaksi peristiwa masa lalu, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Harapannya adalah siapapun kelak menjadi seorang penguasa dapat memiliki referensi bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin. Hal ini sesuai dengan filosofi para kyai / ulama Nahdlatul Ulama,  yakni: “PERTAHANKAN SESUATU YANG SUDAH LAMA BERJALAN DENGAN BAIK DAN AMBIL SESUATU YANG BARU, YANG LEBIH BAIK.”


Selengkapnya tentang kilas balik penguasa Purbalingga adalah sebagai berikut:

1.    Kyai Tepusrumput
Menurut babad Purbalingga, yang ditulis dalam buku sejarah lahirnya Kabupaten Purbalingga, yang merupakan hasil kajian sejarah antara pemerintah kabupaten Purbalingga dengan LPM Universitas Gajah Mada, di jelaskan bahwa cikal bakal Purbalingga berawal dari kisah seorang tokoh yang bernama Kyai Tepusrumput.  Pada suatu saat, ketika  Kyai Tepusrumput sedang bertapa di bawah pohon Jatiwangi, Ia di datangi oleh seorang laki-laki tua bernama Kyai Kantaraga. Kyai Kantaraga memerintahkan agar Ia bertapa di bawah pohon Pule selama 40 hari.
Setelah perintah itu dilaksanakan, yaitu bertapa selama 40 hari, Ia mendapatkan sebentuk cincin emas, yang ternyata bernama Socaludira. Cincin itu, ternyasta adalah milik Sultan Pajang yang hilang.
Karena mengetahui bahwa cincin Socaludira adalah milik Sultan Pajang maka Ia mengembalikannya. Saking girangnya Sultan Pajang menemukan kembali cincin kesayangannya itu, maka Sultan Pajang memberikan hadiah kepada Kyai Tepusrumput seorang putri triman yang sedang hamil 4 bulan.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya putri triman itu melahirkan jabang bayi laki-laki, yang kemudian Ia serahkan kembali kepada Sultan Pajang. Akan tetapi, oleh Sultan Pajang bayi tersebut diserahkan kembali kepada kyai Tepusrumput, yang kemudian bergelar Kyai Ageng Ore-ore
Setelah tumbuh dewasa, anak dari putri triman atau anak tiri dari Kyai Tepusrumput menggantikan kedudukan Kyai Tepusrumput dengan gelar Kyai Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II.
2.    Adipati Onje II
Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II memperistri dua orang yang berasal dari Cipaku dan Pasir Luhur. Dari istri yang berasal dari Cipaku, Ia di karuniai 2 orang putra, yakni; Raden Cakra Kusuma dan Raden Mangunjaya. Selanjutnya dengan istri keduanya yang berasal dari Pasir Luhur, Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II di karuniai 2 putera yang semunya adalah perempuan.
Karena selalu terjadi percekcokan dalam keluarga akhirnya Adipati Onje membunuh kedua istrinya. Selanjutnya Ia kawin dengan anak perempuan Adipati Arenan yang bernama Nyai Pingen.
Dari perkawinan tersebut, Adipati Onje II, dikaruniai seorang putra bernama Kyai Arsa Kusuma yang kemudian berganti nama menjadi Kyai Arsantaka.
3.    Kyai Arsantaka
Setelah dewasa, Kyai Arsantaka kawin dengan 2 orang putri. Istri pertama bernama Nyai Merden dan istri kedua bernama Nyai Kedung Lumbu. Dari istri pertama, Kyai Arsantaka di karuniai 5 orang putera, yakni; pertama Nyai Arsamenggala, kedua Kyai Dipayuda, ketiga Kyai Arsayuda, yang kemudian menjadi menantu Tumenggung Yudanegara II. Putera keempat bernama Mas Ranamenggala dan kelima adalah Nyai Pancaprana. Dengan istri kedua, Kyai Arsantaka di karuniai 1 putera yaitu Mas Candrawijaya, yang di kemudian hari menjadi Patih Purbalingga.
Dari babad inilah maka selanjutnya masyarakat Purbalingga meyakini bahwa Kyai Arsantaka merupakan leluhur para penguasa di Kabupaten Purbalingga.
Kabupaten Purbalingga, menurut Babad Purbalingga, di awali ketika Kyai Arsayuda, Putera ke-3 Kyai Arsantaka dari istri pertamanya yaitu Nyai Merden, di jadikan menantu Tumenggung Yudanegara II,  yang kemudian diangkat sebagai Bupati Banyumas, selanjutnya diangkat menjadi Bupati Purbalingga dengan gelar Ngabehi Dipayuda III.
1. R. Tumenggung Dipayuda III
R. Tumenggung Dipayuda adalah putra ke-3 dari Kyai Arsakusuma yang berganti nama menjadi Kyai Arsantaka dengan istri yang bernama Nyai Merden. Banyak babad atau cerita tentang berdirinya sebuah pusat kekuasaan kabupaten Purbalingga, dimana  Kyai Arsantaka disebut-sebut sebagai cikal bakal berdirinya kabupaten Purbalingga. Dari perkawinannya dengan Nyai Merden, Kyai Arsantaka dikaruniai 5 orang putera, yakni: Nyai Arsamenggala, Kyai Dipayuda I, Kyai Arsayuda, Mas Ranamenggala dan terakhir adalah Nyai Pancaprana.
Sebelum menjadi Bupati Purbalingga, Kyai Arsayuda adalah menantu dari Tumenggung Yudanegara II ( 1728-1759) yang kemudian diangkat sebagai Bupati Banyumas, selanjutnya diangkat sebagai Bupati Purbalingga bergelar Ngabehi Dipayuda III.
Pada masa kekuasaan R. Tumenggung Dipayuda III, pemerintahannya dianggap monumental karena desa Purbalingga di jadikan sebagai Ibukota kabupaten yang sebelumnya berada di Karang lewas.  
2. R. Tumenggung Dipakusuma I]]
R. Tumenggung Dipakusuma adalah putra dari Ngabehi Dipayuda III dengan istri ke-3 yang bernama Nyai Tegal Pingen (putri dari Kyai Singayuda dan cucu dari Pangeran Mahdum Wali Prakosa, Pekiringan). Dari perkawinan tersebut, R. Ngabehi Dipayuda III dikaruniai 5 orang putra, yakni; pertama Raden Tumenggung Dipakusuma I yang kemudian menjadi Bupati Purbalingga menggantikan Ngabehi Dipayuda III, kedua Raden Dipawikrama yang kemudian menjadi Ngabehi Dayuh Luhur, ketiga R. Kertasana yang kemudian diangkat menjadi Patih purbalingga, keempat R. Nganten Mertakusuma dan kelima Kyai Kertadikrama yang kemudian diangkat menjadi Demang Purbalingga.
3.  R. Tumenggung Bratasoedira (24 Juni 1830)
R. Tumenggung Bratasoedira adalah putra dari R. Tumenggung Dipakusuma I dengan Raden Ayu Angger, puteri Pangeran Aria Prabu Amijaya yang berarti cucu dari  Mangkunegara I. Dengan perkawanan tersebut, R. Tumenggung Dipakusuma I dikaruniai 4 putra, yakni; pertama Raden Mas Tumenggung Bratasoedira ( Raden Mas Danukusuma), Kedua Raden Mas Bratakusuma, ketiga Raden Mas Tumenggung Dipakusuma II ( Raden Mas Taruna Kusuma I),  dan keempat adalah Raden Ayu Suryaningrat.  
4. R. Tumenggung Taruna Kusuma I (1 Agustus 1830)
R. Tumenggung Taruna Kusuma adalah adik dari R. Tumenggung Bratasoedira, yang berarti adalah putra ke-3 dari R. Tumenggung Dipakusuma I dengan istrinya Raden Ayu Angger ( cucu dari Amangkurat I).
5. R. Tumenggung Dipa Kusuma II (22 Agustus 1831)
R. Tumenggung Dipa Kusuma II adalah putra dari Raden Mas Tumenggung Bratasudira (Bupati Purbalingga ke-3) yang kawin dengan Mbok Mas Widata dari Kawong. Dari perkawinan tersebut di karuniai 4 putra, yakni; pertama Raden Ayu Mangkusudira, kedua Raden Anglingkusuma, ketiga Raden Mas Tumenggung Dipa Kusuma II, keempat Raden Dipasudira.  
6. R. Adipati Dipa Kusuma III (7 Agustus 1846)
R. Adipati Dipa Kusuma III adalah putera pertama dari R. Tumenggung Dipa Kusuma II dengan istri keduanya yaitu Raden Ayu Karangsari, puteri dari Raden Tumenggung Citrasuma, Bupati Jepara.  
7. R. Tumenggung Dipa Kusuma IV (4 Sept 1869)
R. Tumenggung Dipa Kusuma IV adalah putra dari Raden Tumenggung Dipa Kusuma II dengan istri ke-3 nya yang bernama Raden Ayu Brobot. Dengan istri ke-3 nya, Dipa Kusuma II di karuniai 5 putra, yakni; pertama Raden Ayu Adipati Suranegara, menjadi bupati Pemalang, kemudian yang kedua  R. Dipaningrat, ketiga Raden Dipaatmadja yang kemudian menjadi patih Banyumas selanjutnya menjadi Bupati Purbalingga dengan gelar Raden Tumenggung  Dipa Kusuma IV. Kemudian keempat adalah Raden ayu Dipasudira dan kelima Raden Ayu Mangku Atmadja.
8. R. Tumenggung Dipa Kusuma V (14 Februari 1868)
R. Tumenggung  Dipa Kusuma V adalah putra dari R. Tumenggung Dipa Kusuma IV dengan istrinya yang bernama Raden Ayu dipa Atmadja. Dari perkawinan tersebut di karuniai 8 putra, yakni; Raden Ayu Tumenggung Cakraseputra, menjadi Bupati Purwokerto, kedua Raden Tumenggung Dipa Kusuma V ( Kanjeng Candi Wulan), ketiga Raden Adipati Dipa Kusuma VI, keempat Raden Ayu Wiryaseputra, kelima Raden Sumadarmaja, keenam Raden Ayu Adipati Cakranegara, ketujuh Raden Ayu Taruna Kusuma IV,  dan kedelapan Raden Ayu taruna Atmadja.
9. R. Brotodimedjo (20 Nopember 1893-13 Sept 1899)
Raden Brotodimedjo adalah Ymt Bupati Purbalingga. Ia adalah mantan patih Purbalingga.
10.R. Tumenggung Adipati Dipa Kusuma VI (13 Sept 1899)
R. Tumenggung Dipa Kusuma VI adalah adik dari Dipa Kusuma V, yang berarti putra ketiga dari R. Adipati Dipa Kusuma dengan istri yang bernama Raden ayu Dipa Atmadja.
11. K.R.A.A. Soegondo (29 Oktober 1925)
K.R.A.A Soegondo adalah putra dari  Raden Tumenggung Dipa Kusuma IV, yang sekaligus menjadi menantu dari Paku Buwono X di Surakarta.
Selanjutnya setelah kekuasaan K.R.A.A. Soegondo berakhir, terjadi kevakuman.  Baru kemudian, setelah Indonesia merdeka bupati Purbalingga diangkat oleh DPRD, berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut:
12. Mas Soeyoto  (1946-1947)
13. R. Mas Kartono    (1947-1950)
14. R. Oetoyo Koesoemo  (1950-1954)
15. R. Hadisoekmo  (1954-1960)
16. R. Mohammad Soedjadi  (1960-1967)
17. R. Bambang Moerdharmo, SH  (1967-1973)
18. Letkol PSK Goentoer Daryono   (1973-1979)
19. Drs. Soetarno   (1979-1984)
20. Drs. Soekirman   (1984-1989)
21. Drs. Soelarno  (1989-1999)
22. Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si + Drs. Sotarto Rahmat   (2000-2005)
23. Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si + Drs. Heru Sudjotmoko,M.Si   (2005-2010)
24. Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si+ Drs. Sukento Ridho Marhaendriyanto,M.Si  (2010-2015)

Sebagai catatan:
1)No. 12 sampai dengan 22 adalah Bupati pada masa setelah merdeka dan dipilih oleh DPRD.
2)No.23 atau pasangan Drs. H. Triyono Budi sasongko, M.Si dan Drs. H. Heru Soedjatmoko, M.Si dan no 24 yakni pasangan  Drs.H. Heru Sudjatmoko, M.Si
dan Drs. H. Sukento Ridho Marhaendriyanto,M.Si   di pilih secara langsung oleh rakyat.



































WISATA SEJARAH DAN RELIGI KABUPATEN PURBALINGGA



MONUMEN TEMPAT LAHIR
Panglima Besar Jenderal Soedirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di dukuh Rembang desa Bantarbarang, Kecamatan   Rembang -  Kabupaten Purbalingga.
Monumen ini mulai dibangun pada tanggal 6 Februari 1976, oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga pada masa Bupati Goentoer Darjono, sebagai “tetenger” sekaligus sebagai penghargaan atas jasa-jasa perjuangan beliau menegakkan Kemerdekaan NKRI.
Pribadi yang sederhana, berwibawa serta semangat juang dan pengorbanan yang diabdikan bagi Ibu Pertiwi semoga tetap menjadi suri-tauladan bagi  generasi penerus estafet kepeimimpinan bangsa.




MASJID AGUNG PURBALINGGA
Masjid kebanggaan masyarakat Purbalingga ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah dan dipugar oleh Bupati Purbalingga, Drs. Triyono Budi Sasongko, MSi. Dengan arsitektur  yang mengadopsi Masjid Nabawi di Madinah    dan berdaya tampung hingga ± 2500 orang, masjid ini digunakan oleh masyarakat Purbalingga dan sekitarnya untuk Sholat berjamaah juga kegiatan lainnya seperti berbagai pengajian, bazaar hingga tempat pelaksanaan akad nikah. Berada di jantung kota Purbalingga, rancangan masjid yang megah ini merefleksikan sisi religius masyarakat Purbalingga.





PETILASAN ARDI LAWET
Tempat  wisata ini berada diatas bukit dan terletak di  desa  Panusupan, Kecamatan Rembang ± 37km  dari pusat Kota Purbalingga. Ardi Lawet  berasal dari kata “chalwat” yang berarti berdoa memohon kepada Allah untuk kesejahteraan ummat manusia. tempat wisata ziarah ini konon merupakan peninggalan sejarah pengembangan agama Islam yang merupakan cikal bakal keberadaan wilayah Purbalingga pada zaman dulu.






SEJARAH KOTA PURBALINGGA
SEJARAH PURBALINGGA
Sejarah Purbalingga berawal dari seorang tokoh yang menurut sejarah menurunkan tokoh-tokoh Bupati Purbalingga yaitu Kyai Arsantaka.
Kyai Arsantaka yang pada masa mudanya bernama Kyai Arsakusuma adalah putra dari Bupati Onje II. Sesudah dewasa diceritakan bahwa kyai Arsakusuma meninggalkan Kadipaten Onje untuk berkelana ke arah timur dan sesampainya di desa Masaran (Sekarang di Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara) diambil anak angkat oleh Kyai Wanakusuma yang masih anak keturunan Kyai Ageng Giring dari Mataram.
          Pada tahun 1740 – 1760, Kyai Arsantaka menjadi demang di Kademangan Pagendolan (sekarang termasuk wilayah desa Masaran), suatu wilayah yang masih berada dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk kecamatan Kutasari, Purbalingga) yang dipimpin oleh Tumenggung Dipayuda I.
Banyak riwayat yang menceritakan tenang heroisme dari Kyai Arsantaka antara lain ketika terjadi perang Jenar, yang merupakan bagian dari perang Mangkubumen, yakni sebuah peperangan antara Pangeran Mangkubumi dengan kakaknya Paku Buwono II dikarenakan Pangeran mangkubumi tidak puas terhadap sikap kakanya yang lemah terhadap kompeni Belanda. Dalam perang jenar ini, Kyai Arsantaka berada didalam pasukan kadipaten Banyumas yang membela Paku Buwono.
Dikarenakan jasa dari Kyai Arsantaka kepada Kadipaten Banyumas pada perang Jenar, maka Adipati banyumas R. Tumenggung Yudanegara mengangkat putra Kyai Arsantaka yang bernama Kyai Arsayuda menjadi menantu. Seiring dengan berjalannya waktu, maka putra Kyai Arsantaka yakni Kyai Arsayuda menjadi Tumenggung Karangwelas dan bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Masa masa pemerintahan Kyai Arsayuda dan atas saran dari ayahnya yakni Kyai Arsantaka yang bertindak sebagai penasihat, maka pusat pemerintahan dipindah dari Karanglewas ke desa Purbalingga yang diikuti dengan pembangunan pendapa Kabupaten dan alun-alun.
          Nama Purbalingga ini bisa kita dapati didalam kisah-kisah babad. Adapun Kitab babad yang berkaitan dan menyebut Purbalingga diantaranya adalah Babad Onje, Babad Purbalingga, Babad Banyumas dan Babad Jambukarang. Selain dengan empat buah kitab babat tersebut, rekonstruksi sejarah Purbalingga, juga dilakukan dengan melihat arsip-arsip peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang tersimpan dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
Menurut sejarahnya, Purbalingga ternyata pernah menduduki peranan penting pada masa kejayaan kerajaan tempo dulu. Nama Purbalingga erat dengan kisah kejayaan Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Kelima kerajaan itu secara bergantian pernah menguasai Purbalingga sebagai wilayah dudukan.
Hal ini dibuktikan dengan kentalnya pengaruh kebudayaan pada masa itu terhadap sistem kebudayaan masyarakat Purbalingga. Pengaruh tersebut masih dapat dijumpai hingga sekarang.
Ada yang berwujud peninggalan benda purbakala (artefak), berupa seni tradisi, sistem religi (upacara adat), dan sebagainya.
Bukti-bukti lain yang berwujud dokumen literer, diantaranya berupa serat atau sastra babad. Sastra Babad masuk dalam genre sastra sejarah yang berkembang di Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Di Sumatera, Kalimantan dan Malaysia disebut dengan istilah hikayat, dan silsilah. Atau Tambo di Padang dan Lontara di Sulawesi
Selatan.
Sejarah Purbalingga terdokumentasi dalam 4 (empat) babad berbeda.
Pertama,
Babad Onje milik S Warnoto – dulu menjabat Carik atau Sekdes Onje, Kecamatan Mrebet- Purbalingga.
Kedua,
Babad Purbalingga, koleksi perpustakaan Museum Sonobudaya Yogyakarta.
Ketiga,
Babad Jambukarang yang diterbitkan Soemodidjojo Mahadewa Yogyakarta tahun 1953.
Keempat,
adalah Babad Banyumas yang tersimpan di Museum Sonobudaya Yogyakarta.
Berdasarkan bukti literer itulah kemudian sejarah Kabupaten Purbalingga direkontruksi. Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Gajah Mada (UGM) yang ditunjuk pemkab Purbalingga untuk melakukan penelitia, membandingkan kata ke-empat babad itu dengan arsip peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang disimpan dalam koleksi Arsip Nasional RI.
Hasilnya disimpulkan (disepakati) bahwa hari jadi Purbalingga jatuh pada tanggal 18 Desember 1830.
Hari jadi Kabupaten Purbalingga telah ditetapkan melalui Peraturan daerah (Perda) No. 15 tahun 1996, tanggal 19 November 1996 yang jatuh pada tanggal 18 Desember 1830 atau 3 Rajab 1246 Hijriah atau 3 Rajab 1758 Je.
Selanjutnya hari jadi itu diberi candrasengkala “Anggelar Pakarti Sumujuding Hyang Wisesa (1758) dan suryasengkala “Sireping Rananggana Hangesti Praja (1830). / (Hr/RSP)
*Dirangkum dari Buku Sejarah lahirnya Kabupaten Purbalingga (Kerjasama Pemda Kab Dati II
Purbalingga dengan LPM UGM / 1997) dan Buku Kilas Sejarah Purbalingga (Tri Atmo / 2008)


URUTAN BUPATI DI KABUPATEN PURBALINGGA BUPATI PERTAMA : RADEN TUMENGGUNG DIPOYUDO III

Anak Ki Arsantaka yaitu Ki Arsayuda diangkat menjadi patih Karanglewas mendampingi Raden Ngabehi Dipoyudo II. Tetapi Raden Tumenggung Dipoyudo II tidak lama memimpin Karanglewas karena sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Sebagai gantinya, diangkatlah Ki Arsayuda dengan gelar Raden Tumenggung Dipoyudo III.
          Atas petunjuk Ki Arsantaka, pusat pemerintahan yang semula di Karanglewas di pindah ke desa Purbalingga yang dianggap lebih strategis dan subur. Sejak saat itu, Purbalingga sudah lepas dari Banyumas dan berdiri sederajat langsung di bawah pemerintahan pusat di Surakarta.
Tanggal 23 Juli 1759 dibangunlah alun-alun, kantor kabupaten dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan pusat pemerintahan di Purbalingga.
Raden Tumenggung Dipoyudo III memerintah tahun 1759 – 1787. Ia mempunyai tiga istri terdiri satu istri Padmi dan dua Istri Selir. Karena dari istri Padmi maupun selir pertama tidak menurunkan putra, sebagai gantinya diangkat putra Nyai Tegalpingen (selir kedua) yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipokusumo I. Setelah wafat, Raden Tumenggung Dipoyudo III dimakamkan di Makam Arsantaka dukuh Pekuncen Purbalingga Lor.

BUPATI KEDUA : RADEN TUMENGGUNG DIPOKUSUMO I ( 1792 – 1811 )

Sebelum Raden Tumenggung Dipoyudo III menyerahkan jabatan kepada Raden Tumenggung Dipokusumo I, untuk sementara pemerintah sehari-hari diserahkan kepada Raden Yudokusumo dengan pangkat Ngabehi (Bupati Anom). Ia memerintah selama empat tahun yaitu 1778-1782 karena pada saat itu Raden Tumenggung Dipokusumo I belum cukup umur.
Pada tahun 1792 Raden Tumenggung Dipokusumo I resmi menggantikan Raden Yudokusumo. Ia memerintah tahun 1792 – 1811.

BUPATI KETIGA : RADEN MAS TUMENGGUNG BROTOSUDIRO ( 1811 – 1831 )

Sebagai pengganti Raden Tumenggung Dipokusumo I, diangkatlah Raden Mas Danukusumo dengan gelar Raden Mas Tumenggung Brotosudiro. Ia adalah putra pertama dari istri Padmi Raden Ayu Angger, putri Kanjeng Pangeran Haryo Prabuwijoyo I, cucu KGPAA Mengkunegoro I.
Ia memerintah tahun 1811 – 1831. Selama berkuasa, pemerintahannya masih dibawah Pemerintahan Kesunanan Surakarta.
Pada saat Raden Mas Tumenggung Brotosudiro memerintah, terjadi perang Diponegoro dimulai 20 Juli 1825. Perang itu di Purbalingga dikenal dengan sebutan Perang Biting. Perang Biting berakhir tahun 1830 setelah ada kabar bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda.
Setelah perang Diponegoro berakhir, daerah Banyumas termasuk Purbalingga, dinyatakan lepas dari pemerintahan Kasunanan Surakarta termasuk Yogyakarta dan berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.Banyumas dinyatakan sebagai daerah Karesidenan.
Penataan wilayah Banyumas disebutkan dalam Besluit Gouverneur Generaal yang diterbitkan di Bogor tanggal 18 Desember 1830 Nomor 1. Isinya pembagian wilayah Banyumas, Bagelen dan Ledhok, hendaknya berdasarkan pada rencana yang telah disiapkan oleh Markus dari hasil perundingan dan pemikiran dengan Van Den Haer, Van Lewick, Van Pabst yang kemudian ditegaskan lewat Beluit tanggal 21 Agustus 1830.
Selanjutnya pada bulan November 1841 atau bulan Syuro 1760, Jendral De Kock mengunjungi Banyumas dan mengadakan konferensi di Sokaraja dengan para Adipati, Ngabehi dan Punggawa yang berjasa dalam perang Diponegoro. De Kock mengumumkan dan menetapkan pemerintahan Karesidenan Banyumas dengan Residen pertama Tuan Stuurler. Wilayah Banyumas dibagi menjadi lima daerah Kabupaten.
1. Kabupaten Banyumas dengan bupati Raden Tumenggung Cokrowedono I, mendapat gelar Adipati dan tetap menjadi Wedono Bupati.
2. Kabupaten Purwokerto dengan bupatinya Raden Ngabehi Brotodimejo yang semula bupati Sokaraja dnegan gelar Raden Tumenggung Brotodimejo.
3. Kabupaten Purbalingga dengan bupati Raden Mas Brotosudiro, Setelah pensiun, digantikan oleh adik kandungnya yaitu Raden Mas Tumenggung Dipokusumo II yang diangkat tanggal 22 Agustus 1830.
4. Kabupaten Banjarnegara dengan bupati Raden Tumenggung Dipayuda IV dari Adireja dan diangkat 22 Agustus 1830.
5. Kabupaten Majenang dengan bupati Raden Tumenggung Prawironegoro berkedudukan di Dayeuhluhur yang kemudian menjadi kabupaten Majenang.
Dari catatan sejarah, Raden Mas Tumenggung Brotosudiro (Bupati Purbalingga ketiga) mengalami dua zaman pemerintahan yakni pemerintahan Kesunanan Surakarta dan pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah wafat, Raden Mas Tumengguang Brotosudiro dimakamkan di pesarean Arsantaka Purbalingga Lor.

BUPATI KEEMPAT : RADEN MAS TUMENGGUNG ADIPATI DIPOKUSUMO

II (1831 – 1855 ) Setelah Raden Mas Tumenggung Brotosudiro berhenti karena pensiun, sebagai pengganti diangkatlah adik kandungnya yaitu Raden mas tarunokusumo sebagai bupati keempat dengan gelar Raden mas Tumenggung Dipokusumo II pada tanggal 22 Agustus 1831. Setelah Susuhunan Pakubuwono V mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 23 Pebruari 1835, ia kembali mendapat gelar Adipati sehingga memiliki gelar lengkap Raden Mas Tumenggung Adipati Dipokusumo II. Ia merupakan bupati Purbalingga pertama yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda. (Bupati sebelumnya diangkat oleh susuhunan Surakarta).
RMTA Dipokusumo II berhenti karena pension tahun 1855, dan digantikan oleh putranya yaitu Raden Adipati Dipokusumo III (anak dari istri ketiga yaitu Raden Ayu Karangsari).
Setelah RMTA Dipokusumo II wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana desa Kajongan, Bojongsari.

BUPATI KELIMA : RADEN ADIPATI DIPOKUSUMO III ( 1855  – 1868 )

Raden Adipati Dipokusumo III sebelumnya bernama Ngabehi tarunokusumo. Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana Kajongan, Bojongsari.

BUPATI KEENAM : RADEN ADIPATI DIPOKUSUMO IV ( 1868 – 1883 )

Ia diangkat menjadi bupati keenam dengan besluit tanggal 4 September 1868. Sebelum diangkat menjadi bupati ia menjadi mantra polisi di Purareja (Klampok). Selanjutnya tanggal 1 Mei 1849 menjadi asisten wedono (camat) Sokaraja. Dan tanggal 5 Oktober 1866 menerima besluit sebagai Patih Banyumas.
Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana Kajongan.

BUPATI KETUJUH : RADEN ADIPATI TUMENGGUNG DIPOKUSUMO V ( 1883 – 1899 )

Pengganti Raden Adipati Dipokusumo IV adalah putra kandungnya sendiri dari istri kedua (putri Embah Haji Mohammad, cucu Tumengguang Selomanik, cicit Pangeran Bayat) yaitu Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V. Ia juga dikenal sebagai Kanjeng Candiwulan.
Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V juga dimakamkan di pemakaman Giri Cendana.

BUPATI KEDELAPAN : KANJENG RADEN ADIPATI ARYO DIPOKUSUMO VI  ( 1899 – 1925 )

Setelah Raden Adipati Tumenggung Dipokusumo V berhenti karena pension, digantikan oleh adiknya Raden Darmokusumo. Ia diangkat berdasarkan besluit tanggal 13 September 1899.
Raden Darmokusumo (Dipkusumo VI) dilahirkan di Sokaraja tahun 1852, putra Raden Adipati Dipokusumo IV.
KRA Dipokusumo VI adalah seorang amtenaar (pegawai negeri0 yang sangat disiplin dan jasanya sanat besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Sehingga tanggal 26 Agustus 1919 ia mendapat gelar Aryo sehingga nama dan gelarnya menjadi Kanjeng Raden Adipati Aryo (KGPAA) Dipokusumo VI GSOON. (GSOON adalah penghargaan bintang jasa dari pemerintah Hindia Belanda).  Ia juga satu satunya bupati Purbalingga yang memperoleh hak menggunakan “song-song jene” (paying mas) sebagai lambing kebesaran.
Setelah wafat, jenasahnya dimakamkan di pemakaman Giri Cendana.

BUPATI KESEMBILAN : RADEN MAS ADIPATI ARYO SUGONDO ( 1925 – 1949 )

KGPAA Dipokusumo VI GSOON memerintah Purbalingga selama 25 tahun dan berhenti karena pension. Sebagai pengganti diangkat putra sulungnya dari istri padmi (Raden Ayu Sriyati, putrid BRMA Suryoputro, cucu KGPAAMangkunegoro II) yakni Raden Mas Sugondo. Ia diangkat sebagai bupati tanggal 29 Oktober 1925 dengan gelar Raden Mas Tumenggung Aryo Sugondo.
Pada masa pemerintahannya, wilayah Purbalingga dibagi menjadi Tiga kawedanan yakni :
1.    Kawedanan Purbalingga (Kec Purbalingga, Kutasari, Kalimanah, Kaligondang dan Kemangkon ).
2.    Kawedanan Bobotsari ( Kec Bobotsari, Mrebet, Karanganyar dan Karangreja)
3.    Kawedanan Bukateja (Kec Bukateja, Kejobong, Karangmoncol dan Rembang)
Pada masa pemerintahannya juga dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat yang diketuai Bupati. Anggotanya 19 orang (2 orang Belanda, 2 orang bukan Belanda dan bukan pribumi dan 15 orang pribumi).

BUPATI KESEBELAS : MAS SUYOTO

Setelah kemedekaan RI, kedudukan Raden Mas Tumenggung Aryo Sugondo tetap sebagai bupati Purbalingga (ke-sepuluh). Namun beberapa waktu kemudian seorang pejabat karesidenan Banyumas yakni Mas Suyoto ditunjuk sebagai bupati Purbalingga kesebelas. Mas Suyoto menjabat sebsagai bupati hanya sampai pertengahan tahun 1947.

BUPATI KEDUA BELAS : RADEN MAS KARTONO

Dalam situasi dan kondisi yang sangat gawat, pemerintah RI mengangkat Patih Raden Mas Kartono yang sedang bergerilya berjuang bersama TNI sebagai bupati ke dua belas. Ia bermukim di luar kota. Dengan demikian terdapat dua versi bupati yang memerintah Purbalingga yakni Raden Mas Tumengguang Aryo Sugondo versi recomba Belanda dan Raden Mas kartono versi pemerintah RI.
Ini adalah masa berakhirnya bupati keturunan Ki Arsantaka. Selama agresi militer I dan II, RMTA Sugondo dalam melaksanakan pemerintahan merasa tertekan karena tidak diberi kekuasaan sebagaimana mestinya seorang bupati. Sehingga sebelum saatnya pensiun ia mengajukan permohonan berhenti karena kesehatannya tidak mengijinkan. Tanggal 31 Desember 1949, RMTA Sugondo meninggal dan jenasahnya dimakamkan di Giri Cendana.
RMTA Sugondo adalah bupati terakhir dari kleturunan Ki Arsantaka, cikal bakal pendiri kota Purbalingga.
Setelah itu pengangkatan bupati berdasarkan keturunan tidak berlaku lagi  tetapi berdasarkan pemilihan oleh DPRD.



membujang, Adipati Onje Raden Hanyakrakusuma kemudian kawin lagi dengan seorang puteri dari Arenan. Bila dilihat dari segi usia, perkawinan antara Adipati Onje dengan puteri Arenan ini sebenarnya tidak seimbang.

Dari perkawinan ini ia menurunkan Kiai Yudantaka, dan Kiai Arsantaka. Kiai Yudantaka empunyai kegemaran bertani, ketika wafat jenazahnya dimakamkan di desa Kedungwringin termasuk Kecamatan Kalimanah, Purbalingga.

Sebaliknya Kiai Arsantaka, karena tidak cocok dengan saudara-saudaranya (Putera-puteri Adipati Onje dari isteri terdahulu) terpaksa meninggalkan Onje dan berkelana ke timur. Di desa Masaran (Kecamatan Bawang, Banjarnegara) lalu diambil anak angkat oleh Kiai Rindik yang semula bernama Kiai Wanakusuma.

Tahun 1740-1760 Kiai Asantaka mejabat demang Pagendolan yang sekarang termasuk desa Masaran. Ia mempunyai dua isteri. Masing-masing Nyai Merden (keturunan Raden Wargautama II), Bupati Banyumas) dan Nyai Kedunglumbu.

Dalam perkawinannya dengan Nyai Merden, ia menurunkan:
1.      Kiai Arsamenggala,
2.      Kiai Dipayuda Gabug,
3.      Kiai Arsayuda yag kemudian bergelar Tumenggung Dipayuda III, Bupati pertama Purbalingga,
4.      Kiai Ranumenggala, Demang Pasiraman,
5.      Nyai Pancaprana

Sedang dengan Nyai Kedunglumbu hanya menurunkan seorang putera yaitu, Mas Candiwijaya Patih Purbalingga.

Pada akhir hayatnya Kiai Arsantaka dan Nyai Merden dimakamkan di desa Masaran tersebut diatas. Tetapi atas pertimbangan ahli warisnya batu nisan kedua makam itu dipindah ke makam Pakuncen Purbalingga Lor yang sampai sekarang dikenal dengan nama Makam Arsantaka.

Waktu itu desa-desa Purbalingga dan Banjarnegara belum mempunyai Adipati. Kademangan Pagendolan masih dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk Kecamatan Kutasari, Purbalingga). Ngabehi Karanglewas adalah Tumenggung Dipayuda I yang mempunyai atasan lagi yaitu Adipati Banyumas Yudanegara III, tahun 1730-1749. Tumenggung Yudanegara III adalah kakak dari Ngabehi Karanglewas, sama-sama putera Yudanegara II yang menjadi Adipati Banyumas tahun 1710-1728.

Tahun 1749 pecah perang Mnagkubumen. Pasukan Banyumas dipimpin Raden Tumenggung Yudanegara III sebagai panglima perang. Sedangkan Tumenggung Dipayuda I dan Kiai Arsantaka merupakan komandan-komandan kesatuan bawahnya.

Dalam pertempuran yang terjasi disebelahbarat sungai Bogowonto, Raden Tumenggung Dipoyudo I gugur, jenazahnya hilang. Berkat ketekunan dan keberanian Kiai Arsantaka jenazah tersebut berhasil ditemukan kembali di desa Jenar, kemudian dimakamkan di “Astana Redi Bendungan” desa Dawuhan, Banyumas. Selanjutnya dikenal degan sebutan Ngabehi Seda Jenar.

Kedudukan Raden Tumenggung Dipayuda I digantikan putera dari Tumenggung Yudanegara III dengan gelar Tumenggung Dipayuda II sebagai rasa terima kasih, Raden Tumenggung Yudanegara III mengambil menantu putera Kiai Arsantaka yaitu Kiai Arsayuda. Bahkan Kiai Arsyuda diangkat menjadi Patih Karanglewas mendampingi Raden Dipayuda II.

Karena sakit-sakitan, Raden Tumenggung Dipayuda II, tidak lama menjabat Ngabehi Karanglewas (tahun 1755-1758). Ia disebut pula Nagabehi Seda Benda. Jabatannya dilimpahkan kepada Kiai Arsayuda yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.

Maka sampai disinilah keturunan Banyumas dan dimulainya keturunan Kiai Arsantaka yang menjadi cikal bakal berdirinya Kabupaten Purbalingga.

Sumber : Babad dan Sejarah Purbalingga, Tri Atmo; Pemerintah DATI II Purbalingga; 1984.




KILAS BALIK SEJARAH PENGUASA PURBALINGGA

Satu pepatah yang sangat menarik dikemukakan oleh Ahmad Tohari, Budayawan Banyumas bahwa “mewarisi buku lebih bermakna dari sekedar prasasti yang ditorehkan diatas batu,” tentu sangat penting untuk dicermati dan di kaji. Pesan tersebut mendorong orang untuk memiliki kecerdasan motivasi untuk berkarya, apapun bentuknya, seberapapun nilai kontribusi kemanfaatan hasil karya tersebut bagi dirinya dan orang lain yang menyimaknya. 
 Sebuah buku, yang ditulis oleh siapapun,  bukan hanya lebih lengkap pesan informasinya, akan tetapi memaksa orang untuk terus membaca, berpikir, menganalisa, menyimpulkan dan menuangkannya dalam bentuk gagasan atau ide, yang memungkinkan orang lain terinspirasi untuk mewujudkan gagasan tersebut. Bukankah tekhologi apapun yang ada saat ini, yang kita lihat dan yang kita rasakan adalah merupakan bentuk pengembangan dari ide atau gagasan masa lalu?. Sebagai seorang penulis, tak perlu mati ide ketika tak mendapatkan imbal materi dalam bentuk royalty atau apapun, sebab royalty dari seorang penulis adalah pahala yang akan terus mengalir, yang dapat kita nikmati di alam lain. 

 Sebuah ide atau gagasan yang di tuangkan dalam bentuk buku, merupakan karya yang bermanfaat karena dapat menampilkan setiap sudut hasil karya pembangunan, atau keilmuan yang akan  selalu dikenang, betapapun eranya telah beralih dari generasi ke generasi. Untuk itulah maka  saya selalu berusaha agar tidak pernah merasa lelah untuk berkarya, karena saya meyakini bahwa membaca dan menulis adalah satu paket ladang kita untuk beramal. Tentang kilas balik sejarah penguasa Purbalingga, sengaja saya cuplik dari buku karangan saya yang berjudul “JEJAK-JEJAK PEMBANGUNAN PURBALINGGA, dimaksudkan sebagai upaya mengingatkan para generasi mendatang bahwa kehidupan yang ada saat ini adalah proses dari interaksi peristiwa masa lalu, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Harapannya adalah siapapun kelak menjadi seorang penguasa dapat memiliki referensi bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin. Hal ini sesuai dengan filosofi para kyai / ulama Nahdlatul Ulama,  yakni: “PERTAHANKAN SESUATU YANG SUDAH LAMA BERJALAN DENGAN BAIK DAN AMBIL SESUATU YANG BARU, YANG LEBIH BAIK.”


Selengkapnya tentang kilas balik penguasa Purbalingga adalah sebagai berikut:

1.    Kyai Tepusrumput
Menurut babad Purbalingga, yang ditulis dalam buku sejarah lahirnya Kabupaten Purbalingga, yang merupakan hasil kajian sejarah antara pemerintah kabupaten Purbalingga dengan LPM Universitas Gajah Mada, di jelaskan bahwa cikal bakal Purbalingga berawal dari kisah seorang tokoh yang bernama Kyai Tepusrumput.  Pada suatu saat, ketika  Kyai Tepusrumput sedang bertapa di bawah pohon Jatiwangi, Ia di datangi oleh seorang laki-laki tua bernama Kyai Kantaraga. Kyai Kantaraga memerintahkan agar Ia bertapa di bawah pohon Pule selama 40 hari.
Setelah perintah itu dilaksanakan, yaitu bertapa selama 40 hari, Ia mendapatkan sebentuk cincin emas, yang ternyata bernama Socaludira. Cincin itu, ternyasta adalah milik Sultan Pajang yang hilang.
Karena mengetahui bahwa cincin Socaludira adalah milik Sultan Pajang maka Ia mengembalikannya. Saking girangnya Sultan Pajang menemukan kembali cincin kesayangannya itu, maka Sultan Pajang memberikan hadiah kepada Kyai Tepusrumput seorang putri triman yang sedang hamil 4 bulan.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya putri triman itu melahirkan jabang bayi laki-laki, yang kemudian Ia serahkan kembali kepada Sultan Pajang. Akan tetapi, oleh Sultan Pajang bayi tersebut diserahkan kembali kepada kyai Tepusrumput, yang kemudian bergelar Kyai Ageng Ore-ore
Setelah tumbuh dewasa, anak dari putri triman atau anak tiri dari Kyai Tepusrumput menggantikan kedudukan Kyai Tepusrumput dengan gelar Kyai Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II.
2.    Adipati Onje II
Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II memperistri dua orang yang berasal dari Cipaku dan Pasir Luhur. Dari istri yang berasal dari Cipaku, Ia di karuniai 2 orang putra, yakni; Raden Cakra Kusuma dan Raden Mangunjaya. Selanjutnya dengan istri keduanya yang berasal dari Pasir Luhur, Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II di karuniai 2 putera yang semunya adalah perempuan.
Karena selalu terjadi percekcokan dalam keluarga akhirnya Adipati Onje membunuh kedua istrinya. Selanjutnya Ia kawin dengan anak perempuan Adipati Arenan yang bernama Nyai Pingen.
Dari perkawinan tersebut, Adipati Onje II, dikaruniai seorang putra bernama Kyai Arsa Kusuma yang kemudian berganti nama menjadi Kyai Arsantaka.
3.    Kyai Arsantaka
Setelah dewasa, Kyai Arsantaka kawin dengan 2 orang putri. Istri pertama bernama Nyai Merden dan istri kedua bernama Nyai Kedung Lumbu. Dari istri pertama, Kyai Arsantaka di karuniai 5 orang putera, yakni; pertama Nyai Arsamenggala, kedua Kyai Dipayuda, ketiga Kyai Arsayuda, yang kemudian menjadi menantu Tumenggung Yudanegara II. Putera keempat bernama Mas Ranamenggala dan kelima adalah Nyai Pancaprana. Dengan istri kedua, Kyai Arsantaka di karuniai 1 putera yaitu Mas Candrawijaya, yang di kemudian hari menjadi Patih Purbalingga.
Dari babad inilah maka selanjutnya masyarakat Purbalingga meyakini bahwa Kyai Arsantaka merupakan leluhur para penguasa di Kabupaten Purbalingga.
Kabupaten Purbalingga, menurut Babad Purbalingga, di awali ketika Kyai Arsayuda, Putera ke-3 Kyai Arsantaka dari istri pertamanya yaitu Nyai Merden, di jadikan menantu Tumenggung Yudanegara II,  yang kemudian diangkat sebagai Bupati Banyumas, selanjutnya diangkat menjadi Bupati Purbalingga dengan gelar Ngabehi Dipayuda III.
1. R. Tumenggung Dipayuda III
R. Tumenggung Dipayuda adalah putra ke-3 dari Kyai Arsakusuma yang berganti nama menjadi Kyai Arsantaka dengan istri yang bernama Nyai Merden. Banyak babad atau cerita tentang berdirinya sebuah pusat kekuasaan kabupaten Purbalingga, dimana  Kyai Arsantaka disebut-sebut sebagai cikal bakal berdirinya kabupaten Purbalingga. Dari perkawinannya dengan Nyai Merden, Kyai Arsantaka dikaruniai 5 orang putera, yakni: Nyai Arsamenggala, Kyai Dipayuda I, Kyai Arsayuda, Mas Ranamenggala dan terakhir adalah Nyai Pancaprana.
Sebelum menjadi Bupati Purbalingga, Kyai Arsayuda adalah menantu dari Tumenggung Yudanegara II ( 1728-1759) yang kemudian diangkat sebagai Bupati Banyumas, selanjutnya diangkat sebagai Bupati Purbalingga bergelar Ngabehi Dipayuda III.
Pada masa kekuasaan R. Tumenggung Dipayuda III, pemerintahannya dianggap monumental karena desa Purbalingga di jadikan sebagai Ibukota kabupaten yang sebelumnya berada di Karang lewas.  
2. R. Tumenggung Dipakusuma I]]
R. Tumenggung Dipakusuma adalah putra dari Ngabehi Dipayuda III dengan istri ke-3 yang bernama Nyai Tegal Pingen (putri dari Kyai Singayuda dan cucu dari Pangeran Mahdum Wali Prakosa, Pekiringan). Dari perkawinan tersebut, R. Ngabehi Dipayuda III dikaruniai 5 orang putra, yakni; pertama Raden Tumenggung Dipakusuma I yang kemudian menjadi Bupati Purbalingga menggantikan Ngabehi Dipayuda III, kedua Raden Dipawikrama yang kemudian menjadi Ngabehi Dayuh Luhur, ketiga R. Kertasana yang kemudian diangkat menjadi Patih purbalingga, keempat R. Nganten Mertakusuma dan kelima Kyai Kertadikrama yang kemudian diangkat menjadi Demang Purbalingga.
3.  R. Tumenggung Bratasoedira (24 Juni 1830)
R. Tumenggung Bratasoedira adalah putra dari R. Tumenggung Dipakusuma I dengan Raden Ayu Angger, puteri Pangeran Aria Prabu Amijaya yang berarti cucu dari  Mangkunegara I. Dengan perkawanan tersebut, R. Tumenggung Dipakusuma I dikaruniai 4 putra, yakni; pertama Raden Mas Tumenggung Bratasoedira ( Raden Mas Danukusuma), Kedua Raden Mas Bratakusuma, ketiga Raden Mas Tumenggung Dipakusuma II ( Raden Mas Taruna Kusuma I),  dan keempat adalah Raden Ayu Suryaningrat.  
4. R. Tumenggung Taruna Kusuma I (1 Agustus 1830)
R. Tumenggung Taruna Kusuma adalah adik dari R. Tumenggung Bratasoedira, yang berarti adalah putra ke-3 dari R. Tumenggung Dipakusuma I dengan istrinya Raden Ayu Angger ( cucu dari Amangkurat I).
5. R. Tumenggung Dipa Kusuma II (22 Agustus 1831)
R. Tumenggung Dipa Kusuma II adalah putra dari Raden Mas Tumenggung Bratasudira (Bupati Purbalingga ke-3) yang kawin dengan Mbok Mas Widata dari Kawong. Dari perkawinan tersebut di karuniai 4 putra, yakni; pertama Raden Ayu Mangkusudira, kedua Raden Anglingkusuma, ketiga Raden Mas Tumenggung Dipa Kusuma II, keempat Raden Dipasudira.  
6. R. Adipati Dipa Kusuma III (7 Agustus 1846)
R. Adipati Dipa Kusuma III adalah putera pertama dari R. Tumenggung Dipa Kusuma II dengan istri keduanya yaitu Raden Ayu Karangsari, puteri dari Raden Tumenggung Citrasuma, Bupati Jepara.  
7. R. Tumenggung Dipa Kusuma IV (4 Sept 1869)
R. Tumenggung Dipa Kusuma IV adalah putra dari Raden Tumenggung Dipa Kusuma II dengan istri ke-3 nya yang bernama Raden Ayu Brobot. Dengan istri ke-3 nya, Dipa Kusuma II di karuniai 5 putra, yakni; pertama Raden Ayu Adipati Suranegara, menjadi bupati Pemalang, kemudian yang kedua  R. Dipaningrat, ketiga Raden Dipaatmadja yang kemudian menjadi patih Banyumas selanjutnya menjadi Bupati Purbalingga dengan gelar Raden Tumenggung  Dipa Kusuma IV. Kemudian keempat adalah Raden ayu Dipasudira dan kelima Raden Ayu Mangku Atmadja.
8. R. Tumenggung Dipa Kusuma V (14 Februari 1868)
R. Tumenggung  Dipa Kusuma V adalah putra dari R. Tumenggung Dipa Kusuma IV dengan istrinya yang bernama Raden Ayu dipa Atmadja. Dari perkawinan tersebut di karuniai 8 putra, yakni; Raden Ayu Tumenggung Cakraseputra, menjadi Bupati Purwokerto, kedua Raden Tumenggung Dipa Kusuma V ( Kanjeng Candi Wulan), ketiga Raden Adipati Dipa Kusuma VI, keempat Raden Ayu Wiryaseputra, kelima Raden Sumadarmaja, keenam Raden Ayu Adipati Cakranegara, ketujuh Raden Ayu Taruna Kusuma IV,  dan kedelapan Raden Ayu taruna Atmadja.
9. R. Brotodimedjo (20 Nopember 1893-13 Sept 1899)
Raden Brotodimedjo adalah Ymt Bupati Purbalingga. Ia adalah mantan patih Purbalingga.
10.R. Tumenggung Adipati Dipa Kusuma VI (13 Sept 1899)
R. Tumenggung Dipa Kusuma VI adalah adik dari Dipa Kusuma V, yang berarti putra ketiga dari R. Adipati Dipa Kusuma dengan istri yang bernama Raden ayu Dipa Atmadja.
11. K.R.A.A. Soegondo (29 Oktober 1925)
K.R.A.A Soegondo adalah putra dari  Raden Tumenggung Dipa Kusuma IV, yang sekaligus menjadi menantu dari Paku Buwono X di Surakarta.
Selanjutnya setelah kekuasaan K.R.A.A. Soegondo berakhir, terjadi kevakuman.  Baru kemudian, setelah Indonesia merdeka bupati Purbalingga diangkat oleh DPRD, berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut:
12. Mas Soeyoto  (1946-1947)
13. R. Mas Kartono    (1947-1950)
14. R. Oetoyo Koesoemo  (1950-1954)
15. R. Hadisoekmo  (1954-1960)
16. R. Mohammad Soedjadi  (1960-1967)
17. R. Bambang Moerdharmo, SH  (1967-1973)
18. Letkol PSK Goentoer Daryono   (1973-1979)
19. Drs. Soetarno   (1979-1984)
20. Drs. Soekirman   (1984-1989)
21. Drs. Soelarno  (1989-1999)
22. Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si + Drs. Sotarto Rahmat   (2000-2005)
23. Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si + Drs. Heru Sudjotmoko,M.Si   (2005-2010)
24. Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si+ Drs. Sukento Ridho Marhaendriyanto,M.Si  (2010-2015)

Sebagai catatan:
1)No. 12 sampai dengan 22 adalah Bupati pada masa setelah merdeka dan dipilih oleh DPRD.
2)No.23 atau pasangan Drs. H. Triyono Budi sasongko, M.Si dan Drs. H. Heru Soedjatmoko, M.Si dan no 24 yakni pasangan  Drs.H. Heru Sudjatmoko, M.Si
dan Drs. H. Sukento Ridho Marhaendriyanto,M.Si   di pilih secara langsung oleh rakyat.




























 WISATA SEJARAH DAN RELIGI KABUPATEN PURBALINGGA



MONUMEN TEMPAT LAHIR
Panglima Besar Jenderal Soedirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di dukuh Rembang desa Bantarbarang, Kecamatan   Rembang -  Kabupaten Purbalingga.
Monumen ini mulai dibangun pada tanggal 6 Februari 1976, oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga pada masa Bupati Goentoer Darjono, sebagai “tetenger” sekaligus sebagai penghargaan atas jasa-jasa perjuangan beliau menegakkan Kemerdekaan NKRI.
Pribadi yang sederhana, berwibawa serta semangat juang dan pengorbanan yang diabdikan bagi Ibu Pertiwi semoga tetap menjadi suri-tauladan bagi  generasi penerus estafet kepeimimpinan bangsa.




MASJID AGUNG PURBALINGGA
Masjid kebanggaan masyarakat Purbalingga ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah dan dipugar oleh Bupati Purbalingga, Drs. Triyono Budi Sasongko, MSi. Dengan arsitektur  yang mengadopsi Masjid Nabawi di Madinah    dan berdaya tampung hingga ± 2500 orang, masjid ini digunakan oleh masyarakat Purbalingga dan sekitarnya untuk Sholat berjamaah juga kegiatan lainnya seperti berbagai pengajian, bazaar hingga tempat pelaksanaan akad nikah. Berada di jantung kota Purbalingga, rancangan masjid yang megah ini merefleksikan sisi religius masyarakat Purbalingga.





PETILASAN ARDI LAWET
Tempat  wisata ini berada diatas bukit dan terletak di  desa  Panusupan, Kecamatan Rembang ± 37km  dari pusat Kota Purbalingga. Ardi Lawet  berasal dari kata “chalwat” yang berarti berdoa memohon kepada Allah untuk kesejahteraan ummat manusia. tempat wisata ziarah ini konon merupakan peninggalan sejarah pengembangan agama Islam yang merupakan cikal bakal keberadaan wilayah Purbalingga pada zaman dulu.



























1 komentar:

  1. ada yang tau ngga saudara kandung kyai arsantaka ? karna dari cerita kake gw saat kyai arsantaka berkelana beliau bersama 2 orang saudauranya yaitu salah satunya eyang gw.

    BalasHapus